Search
Close this search box.

DUKUNGLAH PENGINTERNASIONALAN BAHASA INDONESIA

Persoalan tentang sikap berbahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia masih menjadi salah satu kendala utama dalam penginternasionalan bahasa Indonesia. Dalam berbagai ranah kehidupan, bahasa Indonesia belum kokoh dipergunakan –termasuk pada ranah ekonomi dan pendidikan—padahal UU Nomor 24 Tahun 2009 pasal 44 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sudah mengamanatkan dengan jelas bagaimana seharusnya bahasa Indonesia digunakan. Hal ini menjadi sorotan pada Kuliah Umum Daring Strategi Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia pada Selasa, 12 Mei 2020.

Kuliah Umum yang dibuka oleh Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra  UPI, Prof. Dr. Dadang, M.Si ini menghadirkan Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum., guru besar bidang bahasa dari UPI dan Prof. Dr. Mikihiro Moriyama,M.A., dosen dan peneliti bahasa dan budaya Indonesia  dari Universitas Nanzan Jepang sebagai pembicara serta Dr. Nuny Sulistiany Idris, dosen dan Kaprodi Pendidikan Bahasa Indonesia bagi Penutur asing (BIPA) S-2 Sekolah Pascasarjana UPI sebagai moderator. Animo peserta pada kuliah umum ini sangat besar. Hal ini terlihat dari jumlah peserta yang hadir sebanyak 315 orang dengan jumlah pertanyaan lebih dari 100 yang diajukan melalui ruang chat pada aplikasi yang digunakan. Para pesertanya dosen, mahasiswa, pemerhati bahasa Indonesia, dan masyarakat luas.

Sebenarnya lima syarat bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sudah terpenuhi, seperti dipaparkan oleh Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum yang menjadi Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI periode tahun 2015-2020. Syarat tersebut meliputi (1) jumlah penutur bahasa Indonesia yang mencapai 276 juta orang, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; (2)  Indonesia sudah berpartisipasi aktif di dunia internasional, misalnya ada orang Indonesia yang menjadi pejabat IMF, pimpinan sidang di PBB, mengirimkan tentara Indonesia ke PBB; (3) secara politik dan ekonomi Indonesia juga stabil; (4) bahasa Indonesia tidak hanya digunakan di satu negara karena digunakan juga di beberapa negara tetangga seperti Timor Leste, Malaysia, Brunei Darusalam, Singapura, Thailand Selatan; (5) sikap berbahasa bangsa Indonesia, walaupun ini menjadi hal yang cukup sulit. Sikap berbahasa inilah yang memerlukan kerja sama yang baik dari semua pihak. Tidak semua orang Indonesia merasa bangga menggunakan bahasa Indonesia. Pada ranah ekonomi dan pendidikan, bahasa Indonesia seolah-olah diamputasi oleh bangsanya sendiri. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia perlu dipupuk kembali.

Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, M.A., yang sering disapa Pak Miki,  pun berpendapat sama. Orang Indonesia perlu mempunyai kebanggaan akan bahasa Indonesia yang berjaya, saat ini tampak kurang percaya diri. Pendidikan bahasa Indonesia harus lebih baik lagi dengan kurikulum yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan guru yang berkualitas.

Ada tiga hal yang selayaknya membuat orang Indonesia harus bangga akan negaranya. (1) Indonesia mempunyai daya tarik, yaitu budaya, orang, dan alam. (2) Karakter bangsa yang menarik hati orang asing, yaitu kreatif, ramah, sabar, fleksibel, toleran. (3) Nilai masyarakat yang majemuk, yaitu masyarakat yang mendukung pluralisme dan menghormati orang lain. Selain itu, Indonesia juga sangat kaya akan asset budaya yang potensial. Aset budaya dari berbagai suku bangsa di wilayah yang luas. Ada tari-tarian, karawitan, wayang golek, dangdut, kain batik, seni ukiran, kerajinan tangan, dsb. Orang asing sangat tertarik pada budaya Indonesia, mengapa orang Indonesia tidak bangga?

Indonesia juga dikenal dengan hasil kreativitasnya. Mode yang memikat orang di dunia, misalnya busana muslim dan aksesoris yang bagus. Mebel, lukisan, ukiran, seni rupa (fine art), musik baru, sastra Indonesia juga menarik. Akan tetapi, mengapa terkesan kurang promosi karena kurang bangga?

Selanjutnya, Dadang Sunendar memaparkan bahwa diplomasi kebahasaan merupakan  strategi yang telah dilakukan pemerintah melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam upaya penginternasionalan bahasa Indonesia sesuai dengan PP 57 Tahun 2014 Pasal 31 ayat (2).  Caranya dengan memfasilitasi program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di luar negeri melalui pengiriman dan penugasan pengajar BIPA ke 29 negara untuk 146 lembaga penyelenggara BIPA pada kurun waktu 2015-2019; menyiapkan bahan ajar dan pendukung pembelajaran BIPA berupa: 30 bahan ajar BIPA, 21 bahan pengayaan BIPA kemahiran membaca, 9 bahan siaran BIPA kerja sama RRI VOI dalam 9 bahasa; bahan tes ke-BIPA-an berupa Tes Evaluasi Belajar (TEB) pemelajar BIPA, Tes penempatan pemelajar BIPA, dan Uji Kemahiran BI (UKBI).

Miki menguatkan bahwa strategi untuk meningkatkan bahasa Indonesia di dunia tidak hanya melalui ekonomi dan politik, tetapi juga melalui budaya yang merupakan tenaga lunak (soft power). Bahasa sangat dekat dengan budaya. Contohnya, banyak orang asing belajar bahasa Jepang karena terpengaruh oleh manga dan anime dari Jepang. Atau K-Pop dan drama Korea yang menjadikan kaum muda tertarik belajar bahasa Korea. Strategi melalui tenaga lunak ini lebih menyentuh hati penutur bahasa, daripada menggunakan strategi politik.

Dalam bahasa dikenal hegemoni bahasa. Mengklaim hegemoni bahasa terhadap negara dan bangsa lain adalah suatu tindakan politik yang bisa menimbulkan masalah. Ini strategi yang tegang. Lebih baik memakai strategi nonpolitik dengan meningkatkan tenaga lunak. Meningkatkan tenaga lunak bisa melalui meningkatkan jumlah wisatawan. Dengan begitu, bertambah pula jumlah orang yang belajar bahasa Indonesia.

Moto Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang sering didengungkan oleh Dadang Sunendar saat menjabat sebagai Kepala Badan Bahasa, yaitu “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing” merupakan moto menuju masyarakat multilingual. Kemampuan berbahasa yang multi ini akan mengaktifkan kegiatan yang cerdas sehingga kecerdasan masyarakat meningkat, mendapat informasi lebih banyak dan beragam, menjamin keseimbangan pandangan dan pikiran yang tidak pincang, dan meningkatkan daya berpikir. Paling tidak tiga bahasa harus dikuasai. Bahasa daerah bisa memperkuat kemampuan berbahasa Indonesia dan bahasa asing. Kuncinya adalah “membaca”. Selain itu, belajarlah aksara lain, seperti aksara Arab, Jepang, atau Cina. Baik kiranya, jika di keluarga Indonesia diajarkan bahasa daerah dan bahasa dengan aksara yang berbeda, bahasa Arab misalnya.

Terakhir, Dadang Sunendar menambahkan,  adagio “Bahasa Inggris menenggelamkan bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia menenggelamkan bahasa daerah” harus dilawan. Balikkan kondisinya. “Bahasa daerah menjadi penyangga utama bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia bisa bersaing dengan bahasa lainnya.

Mari kita bersama-sama berjuang menjayakan bahasa Indonesia di rumah sendiri dan membuanakan bahasa Indonesia. Semangat! [NSI]

Share link

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Berita lainnya