Di bawah ini adalah rilis yang diterima admin melalui email dari Yayasan Kebudayaan Rancage, setelah sebelumnya admin meminta rilis ini melalui Dadan Sutisna (salah seorang pengurus Yayasan Rancage) dan telah mendapatkan ijin untuk mempublisnya:
Keputusan
HADIAH SASTERA â€RANCAGEâ€Â 2015
Alhamdulillah  Hadiah Sastera “Rancagéâ€Â untuk sastera Sunda, untuk sastera Jawa dan untuk sastera Bali diberikan setiap tahun tanpa putus, tahun ke-27 untuk sastera Sunda, tahun  ke-22 untuk sastera Jawa, tahun ke -19   untuk sastera Bali, tapi untuk sastera Lampung hadiah “Rancagéâ€Â tidak dapat diberikan setiap tahun, karena buku karya sastera dalam bahasa Lampung  tidak selalu terbit setiap tahun.   Tahun  yang lalu (2014) juga tidak  ada karya sastera dalam bahasa Lampung   yang   terbit, sehingga tahun ini juga tidak ada Hadiah “Rancagéâ€Â yang  diberikan untuk sastera Lampung. Syukurlah pada tahun yang lalu terbit karya sastera dalam bahasa Batak, setelah dua tahun sebelumnya pun setiap tahun terbit buku karya sastera dalam bahasa Batak. Ketika beberapa tahun yang lalu terbit buku sastera dalam bahasa Batak dan bahasa Banjar, Yayasan Rancagé tidak langsung mempertimbangkannya untuk diberi  Hadiah “Rancagéâ€, karena kuatir nasibnya seperti sastera Lampung tidak setiap tahun ada buku terbit. Karena itu kami memutuskan   pemberian Hadiah “Rancagé†baru dilaksanakan kalau dalam tiga tahun berturut-turut ada buku baru yang terbit baik dalam bahasa Batak atau bahasa Banjar – atau bahasa ibu  yang manapun. Ternyata bahasa Batak memenuhi persyaratan kami. Buku dalam bahasa Batak terbit setiap tahun. Sekarang sudah ada lima judul buku sastera dalam bahasa Batak, karena itu tahun 2015 (semoga tahun-tahun seterusnya juga) kami memberikan Hadiah Rancagé untuk sastera Batak buat pertama kalinya.[1]
Hadiah Sastera “Rancagé†2015 untuk sastera Sunda
Dalam tahun 2014,  ada 37 judul buku terbit dalam bahasa Sunda. Tapi tidak semuanya dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Rancagé. Seperti telah ditetapkan, buku karangan Ajip Rosidi, cétak ulang, terjemahan, dan karya-bersama tidak dinilai. Yang dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Rancagé 2014 ada 19 judul karya 18 pengarang,  sedang yang dipertimbangkan untuk mendapat  Hadiah Samsoedi, ada dua judul. Ke-19 judul yang dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah Rancagé adalah Dayeuh Kasareupnakeun (Kota Menjelang Senja) karya Nazaruddin Azhar, Handeuleum na Haté Beureum (Daun Handeuleum dalam hati Merah) dan DuaWanoja (Dua  Wanita) karangan Chyé Rétty Isnéndés, Léptop Kresna karya Yuharno Uyuh, Jurig Congkang Bisul na Bujur (Hantu Congkang pantatnya bisul) karya H. Usép  Romli HM, Lagu Ngajadi (Lagu Menjadi) karya Dian Héndrayana, Moal Dimumurah (Takkan dijual murah) karya I. Asikin, Kembang-kembang Anten karya Aam Amilia, Geulang Koroncong karya Holisoh ME, Céntang Barang karya Asikin Hidayat, Ajo Pitbul karya Tatang Sumarsono, Mahér Budaya Sunda karya Elis Suryani, Srikandi Néangan Gawé (Srikandi Mencari Kerja) karya Tiktik Rusyani, Mahakarya Cinta Rahwana  karya Jéjén Jaélani War, Surat ka Citraresmi karya Didin Tulus, Kacapi Pamikat karya Éni Setiani, Indigo karya karya Inda Nugraha Hidayat, Ngabungbang jeung Sangkuriang karya Arthur S. Nalan dan Gurat-gurit  Ngabuburit karya Étti R.S.   Sedangkan buku yang dipertimbangkan akan mendapat Hadiah Samsoedi, ada tdua judul, yaitu Kembang Asih di Pasantrén karya Édiyana Latief dan   Kasambet karya Ahmad Bakri.
           Setelah dipertimbangkan dengan daria, ditetapkan ada tiga calon untuk mendapat Hadiah Sastera Rancagé  2015 bahasa Sunda ialah Kembang-kembang Anten,Dayeuh Kasareupnakeun kumpulan fiksi mini, dan Lagu Ngajadi kumpulan guguritan.
Kembang-kembang Anten roman karya Aam Amilia, menyegarkan. Pangarang sangat cekatan dalam melukiskan hubungan antara laki-laki dengan wanita, baik suami istri,  maupun yang hanya sebagai teman. Pengarang terhitung berani mengemukakan masalah poligami. Nampak tidak kaku. Hanya dalam melukiskan Sutri sadrah ketika suaminya berterus terang tentang hubungannya dengan Anten, secara psikologis kurang meyakinkan.
Dayeuh Kasareupnakeun karya Nazaruddin Azhar merupakan kumpulan fiksi mini yang sedang sangat digemari oléh para pengarang Sunda. Tidak hanya dimuat dalam majalah tetapi juga banyak yang diterbitkan sendiri oléh pengarangnya berupa buku kecil dan tipis. Beberapa puluh judul mémang berhasil, tapi sebagian lagi  lebih tepat disebut gagal.   Sacara umum fiksi mini Nazaruddin bisa digolongkeun kepada  karya ékspériméntal yang rajin mencari bentuk-bentuk baru yang tepat untuk menyatakan  gagasan yang khas dalam bahasa Sunda. Ada yang berhasil, tapi banyak juga yang belum berhasil.
           Dalam kumpulan guguritan (bentuk puisi tradisional saperti macapat dalam sastera Jawa) berjudul Lagu Ngajadi yang  memuat 36  buah karya Dian Héndrayana nampak bahwa penyairnya sangat menguasai bentuk dan téma-témanya. Kata-katanya terpilih, benar-benar dipertimbangkan dengan matang agar bentuk guguritan dengan téma yang didukungnya benar-benar sesuai, tidak asal jadi. Sayang di sana-sini masih terdapat kalimat yang terasa dipaksakan, seperti dalam menempatkan kata “deui (lagi)†dan “baé (saja)â€Â misalnya dalam kalimah “manggih tapak salira tos deui luntaâ€Â (Di dinya di Wanayasa, h. 16). Tapi tidak sampai menurunkan mutu imajinya. Waktu menghadapinya kita membacanya dengan “berahiâ€. Dalam hal ini, bentuk sastera guguritan yang sudah tersedia sebagai warisan karuhun oléh Dian terus dimamah dikunyah, diberi interprétasi baru, diberi ruh baru, supaya tetap segar dan orisinal.
           Setelah dibaca dan dipertimbangkan lagi dengan saksama, maka ditetapkanlah bahwa  buku sastera Sunda yang mendapat Hadiah Rancagé tahun 2015 untuk karya  adalah
Lagu Ngajadi
                                   Kumpulan guguritan Dian Héndrayana
                                   (terbitan KSB Rawayan, Bandung)
           Maka kepada Dian Héndrayana akan disampaikan Hadiah Rancagé tahun 2015 buat karya berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
           Sedangkan orang yang mendapat Hadiah Rancagé  tahun 2015  untuk jasa adalah
Aam Amalia
                                   Lahir di Bandung, 21 Désémber, 1946
berdasarkan pengabdiannya yang tidak pernah berhenti dalam menumbuhkan dan mengembangkan sastera Sunda baik dengan menulis karya sastera maupun dengan mendidik calon-calon pengarang dalam bahada Sunda.
           Aam Amilia mulai menulis  cerita péndék yang dimuat dalam majalah Manglé ketika berumur 16 tahun. Sejak waktu itu sampai sekarang Aam tidak pernah berhenti  menulis cerita dalam bahasa Sunda, baik cerita péndék maupun roman.  Di samping itu dia menulis cerita péndék dan roman dalam bahasa Indonésia. Dia pernah menjadi redaktur dan wartawan majalah berbahasa Sunda dan Indonésia, yaitu Manglé, Hanjuang, Sipatahoenan, Galura, Kudjang, Koran Sunda, dan Pikiran Rakyat sampai pensiun).
           Roman dan kumpulan cerita péndéknya yang sudah terbit a.l. Samagaha (1969), Asmara Ngambah Sagara (1970), Lalangsé (1970), Puputon (1979), Buron (1980), Kalajengking (1980), Panggung Wayang (1992), Tempat Balabuh (1994), Sekar Kadaton (1994), Suminar (2008), Talaga Malihwarni (2012), dan  Kembang-kembang Anten (2014).
           Sejak  tahun 1970, Aam tidak putus-putus “mengasuh†calon pengarang. Caranya menularkan kemampuannya mengarang tidak formal,  bisa di mana saja, termasuk  di rumahnya.   Aam juga ikut membimbing  calon  pengarang di “Caraka Sundanologi†bersama-sama dengan  pengarang lain seperti  Adang S., Éddi D. Iskandar, Duduh Durahman, Hidayat Susanto dan Abdullah Mustappa, di “Durmakangkaâ€, di “HPPM (Himpunan Penulis Pengarang Muda) Nuraniâ€, dan di “Panglawungan 13†yang berdiri  di Majalah Manglé  atas inisiatip  Abdullah Mustappa dan   Karno Kartadibrata. Para pangarang yang pernah  dibimbing oléh Aam antaranya Tatang Sumarsono, Hérmawan Aksan, Yus R. Ismail, Rosyid É. Abby, Usman Supéndi dan S. Nataprawira.
           Kepada Aam Amilia akan disampaikan Hadiah Rancagé tahun 2015 buat jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé†2015 untuk sastera Jawa
Seperti tahun-tahun sebelumnya dalam tahun 2014 juga penerbitan buku karya sastera dalam bahasa Jawa didominasi oléh karya prosa, baik roman maupun cerita péndék. Dalam tahun 2014 buku sastera Jawa yang terbit adalah 3 buah roman dan 7 buah kumpulan cerita péndék, sedangkan kumpulan puisi hanya 5 judul.
Nalika Rembulan Panglong karya Tiwiek SA bercerita tentang Warno yang menjadi penjudi dan penjahat kakap karena pengaruh lingkungannya. Waktu dia merampok tas orang yang baru mengambil uang dari bank di rumahnya yang besar, tetapi waktu dibuka ternyata tas itu hanya berisi guntingan ketrtas. Hal itu membuat si perampok marah. Dan mau membalas dendam dengan merampok rumah besar itu. Tapi waktu ia melaksanakan niatnya, ternyata Danardana, siempunya rumah tidak ada, karena ia seorang pengusaha tambak udang. Di rumah hanya ada isteri dan anak gadisnya yang cantik. Ia mau memperkosa gadis itu, tapi ibunya membujuknya agar jangan memperkosa gadisnya, sebagai gantinya ia sendiri bersedia diperkosa.
           Beberapa bulan kemudian, Warno mendengar bahwa Danardana mengusir isteri dan anak gadisnya, sehingga ia ingin mencari kedua wanita itu, karena dia sangat terkesan oléh kerélaan bu Chamidah (isteri Danar) yang bersedia diperkosa asal anaknya tidak, yang menyebabkan Warno  sadar akan kejahatannya sendiri. Penyelesaiannya sangat dibuat-buat: Setelah bertemu dengan bu Chamidah, meréka merencanakan menikah, tetapi datang Danar yang mengajak rujuk (yang ditolak) dan Warmo ditangkap polisi karena ketahuan menyimpan senjata api tanpa izin.
           Roman Purnama Kingkin karya Soenarjata Soemardjo, melukiskan kehidupan anak muda yang saling kasihi. Arini mengasihi Prono dengan tulus, tapi Prono menaruh hati juga kepada Asih, saudaranya yang pernah tinggal serumah. Hal itu baru diketahui Arini setelah meréka menikah. Tapi Arini tidak mau menghancurkan cinta Asih hanya karena dia. Sedangkan Asih sudah patah hati karena ditinggalkan oléh Andik yang belakangan menikah dengan Asri yang ternyata saudara kembar Asih.
           Kumpulan cerita péndék Prasetyaning Ati karya Tiwiek SA  kebanyakan melukiskan  kehidupan guru yang melarat namun tulus dan mencintai lingkungan dan pekerjaannya. Mawar Abang kumpulan cerita péndék Ariesta Widya yang pernah mengajar di berbagai tempat di luar Jawa seperti  Tual (Maluku Tenggara) dan kota Manado (Sulawesi Utara), sehingga dalam karyanya terdapat panorama yang bervariasi. Ceritanya bernuansa terlalu lembut, tidak pernah ada konflik terbuka, sehingga alurnya terasa datar.
           Nono  Warnono dalam Malaikat Jubah Putih  yang terdiri dari 23 cerita melukiskan pengalamannya waktu menunaikan ibadah haji yang sepanjang jalan mengalami berbagai hambatan, tapi selalu dapat diatasi karena adanya penolong tidak dikenal yang selalu memakai jubah putih.
Aku Dasamuka lan Sengkuni karya Papal Poerwanto yang memuat 14 buah cerita, semuanya digarap secara khusus, yaitu menggabungkan duinia nyata sebagai latar dasarnya, dengan cerita dari dunia fiksi yang berasal dari cerita wayang atau ketoprak; atau sebaliknya: latar dasar dunia fiksi dilanjutkan dengan kehidupan nyata. Cerita dalam buku ini banyak yang menarik karena digarap dengan latar berbagai variasi, termasuk masa réformasi. Gaya berceritanya juga unik, sering sinis, misalnya ketika mengeritik keadaan sosial pada masa réformasi yang diwarnai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusa seperti penjarahan, perkosaan dan pembunuhan. Sayang sekali kurang didukung oléh penguasaan bahasa yang baik, termasuk penggunaan éjaan.
           Kumpulan cerita Nyolong Pethek karya Ary  Nurdiana, memuat 15 cerita. Ungkapan “nyolong pethek†dalam bahasa Jawa artinya  suatu kejadian yang tidak terduga  sama sekali. Ary Nurdiana dalam cerita-ceritanya  dengan keyakinannya bahwa tidak semua yang kita rencanakan dengan baik tidak selalu berbuah sesuai dengan yang diharapkan, bahkan mungkin yang terjadi adalah sebaliknya.
           Tiga kumpulan guritan (puisi) yang terbit tahun lalu ialah Ngeluk Duwung Nggelung Gunung karya R. Djoko Prakosa, Prasasti karya  Éko Wahyudi dan Sepincuk Rembulan karya Triman Laksono. Djoko Prakosa yang berlatarkan seni tari, banyak memanfaatkan éfék bunyi dalam karyanya. Misalnya dalam puisi “Dakkekep Citramu†banyak digunakan kombinasi bunyi –yu dan dilanjutkan dengan kombinasi –yu dan –tung di akhir kata (layu, klayu, candhik ayu/ dakkekepi ing gawanganing langit / janji saresmi suci / laé …… sesambat bapa biyung gawangan putung / driji-driji kélangan petung!). Kombinasi bunyi itu menimbulkan suasana haru dan kesia-siaan. Secara keseluruhan banyak puisi dalam kumpulan ini kehilangan totalitas karena penyair terlalu memfokuskan kréativitasnya pada aspék keindahan bunyi, kurang memperhatikan aspék puisi  lainnya.
           Karya Éko Wahyudi Prasasti memuat 54 guritan. Penyairnya guru sehingga banyak témanya tentang pendidikan dalam bermasarakat, dan métafora yang digunakannya tidak ada yang gelap.
Sepincuk Rembulan karya Triman Laksana, memuat 117 guritan. Dibagi jadi tiga kelompok, “Jagad Cilikâ€, “Jagad Gedhé†dan “Jamanâ€. Kelompok pertama memuat guritan yang témanya masalah-masalah hakiki manusia; kelompok kedua memuat guritan-guritan yang témanya tentang masalah kehidupan antar-manusia di dunia yang luas; sedang kelompok ketiga memuat guritan-guritan yang bertéma yang berkaitan dengan perubahan. Dalam guritan-guritannya penyair cenderung menggunakan bahasa yang lugu, menyebabkan terasa mengalir dan imaji-imaji visual yang mendukung guritan dalam ketiga kelompok itu mudah dipahami.  Misalnya  guritan “Sepincuk Rembulan†(Jagad Cilikâ€) yang digunakan  sebagai judul kumpulan ini,  menyampaikan masalah kesenjangan sosial dalam masarakat melalui pengamén kecil yang mengamén di depan gedung DPR yang megah. “Mbokmenawa mung turahan rasa / gedong gedhé tan bisa disanak†(mungkin hanya sisa perasaan / gedung megah tak mungkin disapaâ€. Orang kecil yang sehari-harinya lapar dan tidur di beranda langit memimpikan meraih bulan dilukiskannya “tangané ngranggéh rembulan / terus dipincuk kertas koran / sing kebak warta korupsi para pangarsa / arep dienggo sangu turu / nyapih kaluwén kang dawal …â€Â (tangannya meraih bulan / terus dipincuk kertas koran / yang penuh berita korupsi para pemimpin / untuk bekal tidur / menahan rasa lapar yang panjang“. Dalam kelompok “Jagad Gedhé†ada sejumalh guritan yang menarik, antaranya “Mung Duwé Lambé†(Hanya punya Mulut) ,  “Tangisâ€, “Sanajanâ€Â (Meskipun), dan “Kajiret Tali†(Terikat tali). Guritan péndék “Mung Duwé Lambé†sangat réligius dengan kepasrahan masarakat kecil ketika tak berdaya mengubah nasib. Karena meréka hanya mempunyai mulut untuk berdo’a.
           Setelah semua buku terbitan tahun 2014    dipertimbangkan dengan seksama maka ditetapkan bahwa Hadiah Rancagé tahun  2015 untuk sastera Jawa jenis karya diberikan kepada
Sepincuk Rembulan
                                   Kumpulan Guritan
                                   karya Triman Laksono (lahir 7 Juni, 1961)
            Maka kepada Triman Laksana akan disampaikan Hadiah Rancagé tahun 2015 buat karya berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan orang yang mendapat Hadiah Rancagé tahun 2015 untuk jasa adalah
Yulitin Sungkowati
                                   Lahir tgl. 15 Juli 1970 di Purbalingga Jawa Tengah
           Yulitin Sungkowati adalah peneliti sastera Indonésia dan Jawa yang bekerja di Balai Bahasa  provinsi Jawa Timur.  Dia lulusan S-1 dan S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Karya penelitiannya dimuat dalam jurnal-jurnal penelitian seperti Atavisme (Balai Bahasa Jawa Timur), Métasastera (BB Jawa Barat), Salinka (BB Sumatra), Widyaparwa (BB DI Yogyakarta), Kandai (BB Sulawesi Tenggara), Humaniora (FIB UGM), dll. Sedangkan hasil penelitiannya yang dibukukan al. Poténsi Cerita Rakyat Déwi Rengganis (2008), Sastera dan Kritik Sosial (2009), Organisasi Pengarang dalam Dunia  Sastera Jawa (2009), Organisasi Pengarang di Surabaya (2010). Di samping itu dia juga menerbitkan buku ilmiah populér, misalnya Perempuan Seni Tradisi dan Kaum Santri dalam novel Kerudung Santét Gandrung, Kecenderungan Perempuan Pengarang Indonésia tahun 1998—2003 dan sebagainya.
           Yulitin juga sering memberikan ceramah tentang sastera Indonésia dan sastera Jawa di berbagai kesempatan  di berbagai tempat. Sebagai fasilitator dia pun terjun langsung sesuai dengan keahliannya, misalnya pada Béngkél Sastera Indonésia untuk SMA Kabupatén Sidoardjo, Lokakarya éjaan Bahasa Madura, Béngkél Sastera Jawa Guru SMP Kota Mojokerto, dll. Ia juga aktif dalam kegiatan sastera Jawa yang diselenggarakan oléh Paguyuban Pengarang Sastera Jawa Surabaya (PPSJS).
           Kepada Yulitin Sungkowati   akan disampaikan Hadiah Rancagé  sastera Jawa  tahun 2015 buat jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé†2015 untuk sastera Bali
Tahun 2014 yl. buku karya sastera modéren dalam bahasa Bali terbit 12 judul, turun 5 judul dari tahun sebelumnya. Ke-12 judul buku itu buahtangan 10 orang pengarang terdiri dari 2 roman, 1 prosa liris, 4 kumpulan sajak dan 5 kumpulan cerita péndék. Ada seorang penulis yang menerbitkan dua roman, yaitu I Madé Sugianto dan seorang lagi menerbitkan dua buah kumpulan sajak, yaitu I Ketut Aryawan Kenceng. Yang delapan orang lagi masing-masing menerbitkan satu judul buku.
           Meskipun  judul buku yang terbit tahun ini lebih sedikit dari tahun  sebelumnya, namun kehidupan sastera Bali tahun 2014   tetap semarak karena adanya Bali Orti (supelmén Bali Post Minggu) dan rubrik Mediaswari (Pos Bali edisi minggu) yang selalu memuat puisi dan cerita péndék dalam bahasa Bali. Dan ternyata sebagian besar karya  yang terbit tahun 2014 adalah buah tangan penulis  muda, termasuk yang lahir tahun 1994.
           Roman yang terbit tahun 2014  ada dua judul, yaiutu Sentana Cucu Marep (Anak Cucu Utama) dan Ratna Tribanowati, keduanya karya Madé Sugianto yang pernah dua kali mendapat Hadiah Rancagé, tahun 2012 untuk jasa dan tahun 2013 untuk karya. Sentana Cucu Marep merupakan lanjutan dari roman sebelumnya, Sentana, yang berpusat pada masalah kasta dan keturunan garis laki-laki. Masarakat patrilinial Bali menghargai anak laki-laki melebihi anak perempuan karena anak laki-lakilah yang akan meneruskan garis keluarga. Konflik dalam roman ini terjadi karena
ada cinta antara dua kasta yang berbéda. Seorang laki-laki dari kasta rendah jatuh cinta kepada wanita berkasta tinggi (brahmana) yang juga mencintainya.  Cerita ini mengambil solusi bijaksana dengan memutus cinta terbelenggu kasta  melalui pernikahan rékayasa unuk menyelamatkan anak yang akan lahir dengan status brahmana yang akan menjadi penerus keluarga. Nampaknya roman ini masih akan berlanjut.
           Ratna Tribanowati mengisahkan seorang perawan tua (daha tua) yang selalu galau karena tak punya pasangan hidup. Masarakat mengucilkannya karena tahu bahwa ibunya (Mén Gorio) adalah wanita yang menguasai léak (black magic). Kisah ini mendapat inspirasi dari cerita Calonarang. Akhir cerita menggambarkan perang terjadi antara ibunda Ratna yang menjadi rangda dengan tokoh désa yang menjadi barong. Perang antara rangda dengan barong yang sering dipertunjukkan untuk wisatawan dikenal sebagai pertarungan antara kejahatan dengan kebenaran yang diakhiri dengan punahnya ilmu hitam. Sama dengan roman-roman Sugianto sebelumnya, Ratna Tribanowati ditulis dengan bahasa yang jernih, jelas dan cerita mengalir dengan cepat karena konflik kurang kompléks.
Blanjong (nama tempat di daérah Sanur) adalah judul karya Ni Madé Ari Dwijayanthi, memuat 35 judul prosa-liris. Semuanya mengungkapkan réfléksi diri atas berbagai persoalan dan fénoména kehidupan seperti soal waktu, tempat dan harta yang dalam bahasa Bali diungkap dalam kata galah, genah, dan gelah yang memiliki persamaan bunyi suku akhir. Réfléksi penggalian makna kahidupan dan nilai-nilai dalam prosa-liris ini diungkapkan dengan  berbagai cara antara lain dialog dengan diri sendiri atau introspéksi dan dengan orang lain, ékstropéksi.
           Keempat kumpulan sajak  yang terbit tahun 2014 adalah Batan Moning (nama tempat) karya IDK Raka Kusuma, Beruk (Tempurung) dan Bikul (Tikus) keduanya karya I Ketut Aryawan Kenceng, dan Mlajah (Belajar) karya Madé Suar Timuhun. Persamaan karakteristik dalam sajak  yang dimuat di dalam keempat kumpulan itu terletak pada kuatnya irama dan pola persajakan pada akhir baris seperti syair.
Kesadaran penyair untuk membuat bunyi akhir sama sehingga terasa indah terlihat sekali pada karya-–karya I Ketut Aryawan Kenceng. Dia mencoba mengadopsi pola haiku (Jepang)       ke dalam bahasa Bali. Dalam kumpulan Beruk dan Bikul yang masing-masing memuat 55 haiku, penyairnya tak hanya tertib memenuhi pola haiku (tiga baris dengan jumlah suku kata seluruhnya 17 dengan rincian tiap baris 5, 7, 5 suku kata ), melainkan juga dengan membuat tiap baris berkahir dengan suku kata yang sama. Contoh:
 “Purnamaâ€
Langité kedas
Jagaté mapayas
Kenehé iasÂ
Â
artinya  “langit bersih / alam berhias / hati gembiraâ€. Dengan bentuk haiku yang singkat, I Ketut Aryawan Kenceng berhasil mengungkapkan persoalan sosial yag menjadi sumber kepedulian publik seperti masalah réklamasi, perubahan téknologi, dan korupsi.
           Kelima kumpulan cerita péndék yang terbit tahun 2014 adalah Lawar Goak (Lawar Gagak) oléh  I Ketut Rida, Belog (Bodoh) oléh Tudékamatra, Yéning Bénjang Tiang Dados Presidén (Kalau nanti saya jadi  Presidén) oléh I Putu Supartika, Paruman Betara (Rapat para Déwa) oléh I Wayan Sadha dan Ngurug Pasih (Menimbun Laut) oléh I Gedé Putra Ariawan.
Lawar Goak berisi 16 cerita yang berlatar kehidupan perdésaan yang kena pengaruh kehidupan kota namun kepercayaan terhadap nilai-nilai magis masih kuat. Cerita “Lawar Goak†misalnya, melukiskan usaha tak mengenal putus asa seorang désa sampai akhirnya dia bébas dari  kemiskinan. Dalam usahanya mencari pekerjaan baru, dia harus membuat makanan berbahan baku bayi gagak dan membawanya keliling désa tengah malam, penuh suasana mistis. Kisah mistis juga terdapat dalam cerita “Umah Tawah†(Rumah Anéh). Selain téma kerja keras dan mistis, dalam ceritanya I Ketut Rida menyajikan téma generasi muda perlu belajar di sekolah, dan menerapkan pengetahuan dalam perilaku baik di masyarakat untuk kebaikan bersama. Nasehat-naséhat itu disampaikan dalam alur cerita dengan baik, sehingga pembaca tidak merasa digurui. I Ketut Rida pensiunan guru dan tinggal di pedésaan di Bali Timur, tak menghérankan kalau ceritanya penuh naséhat dan mendidik.
Belog memuat 15 cerita sebagian merupakan kisah remaja yang lagi kasmaran, baik yang hidup di désa maupun di kota. Penulisnya, Tudékamatra, rélatif masih muda, kelahiran tahun 1990, sehingga wajar kalau dia masih dekat dengan dunia remaja. Bahasa yang dia gunakan cukup baik, namun ceritanya kebanyakan sederhana seperti cerita “Belog†yang melukiskan kekecéwaan seorang ibu yang mempunyai anak bodoh.
           Penulis buku Yéning Bénjang Tiang Dados Presidén I Putu Supartika lahir tahun 1994 (jadi 2014 baru 20 tahun umurnya), maka ceritanya penuh hayalan atau cita-cita, termasuk ingin jadi persidén atau pergi ke luar negeri. Téma lain adalah romantika remaja seperti “Rindu†cerita tentang seorang laki-laki yang menjadi sangat murung karena ditinggalkan oléh pacarnya yang bekerja di luar negeri. Karya-karya Supartika menunjukkan pemakaian bahasa yang lancar, sederhana, dan lugas serta alur cerita yang menarik. Sosok perempuan dalam cerita-ceritanya lebih kuat dan berpikiran luas daripada laki-laki, gambaran yang sebaliknya dari mitos dalam masyarakat yang memandang perempuan sebagai mahluk lemah.
Paruman Betara karya I Wayan Sadha memuat 24 cerita yang sebagian besar merupakan skétsa masyarakat, banyak berisi sindiran terhadap kehidupan sosial di Bali seperti masalah pariwisata dan térorisme, narkoba, serta ihwal masyatrakat modéren yang percaya pada dukun. Dengan gaya bahasa yang jenaka, Wayan  Sadha menyampaikan sindirannya melalui cerita.
Ngurug Putih memuat 15 cerita karya I Gedé Putra Ariawan, yang sehari-hari menjadi guru bahasa dan sastera Indonésia di SMA. Dia banyak memanfaatkan ungkapan dalam kearifan lokal Bali seperti “luh luwih†(wanita utama), “mati suba ubadné†(mati saja obatnya), sebuah ungkapan yang paradoksal karena “obatâ€Â mestinya membuat sembuh bukan mati. Penggunaan ungkapan-ungkapan demikian tidak saja membuat bahasa cerita énak dibaca dan menyentuh émosi tetapi juga membuat makna dan ungkapan kearifan lokal Bali terus terpakai dan diperkenalkan kepada pembaca. Cerita dalam buku ini merupakan satire atas gejala-gejala sosial dalam pembangunan Bali yang seperti sudah di luar kontrol. Cerita “Ngurug Pasih†misalnya menggambarkan penjualan habis tanah-tanah di Bali untuk villa dan dikuasai orang asing, sedangkan cerita “Car Free Night†menggambakan kehidupn hédonistik dan hura-hura di daérah perkotaan. Kedua cerita itu dikombinasikan dengan  baik dengan isu black magic, kepercayaan yang juga menghiasi cerita-cerita yang lain di sini dan dalam karyanya yang lain.
Maka setelah semua buku terbitan tahun 2014    dipertimbangkan dengan seksama maka ditetapkan bahwa pemenang Hadiah Rancagé tahun  2015 untuk sastera Bali  jenis karya diberikan kepada
Ngurug Pasih
                       Kumpulan cerita péndék
karya I Gedé Putra Ariawan
(terbitan Pustaka Éksprési)
           Kepada I Gedé Putra Ariawan akan dihaturkan Hadiah Sastera \Rancagé tahun 2015 berupa piagam dan uang I(Rp. 5 juta).
           Sedangkan Hadiah Sastera Rancagé tahun 2015 untuk jasa dalam sastera Bali akan dihaturkan kepada
                                   I Nyoman Adiputra
                                   lahir di Kabupatén Bangli, 11 Désémber 1947.
           I Nyoman Adiputra adalah Profésor Doktor Dokter Universitas Udayana yang menciptakan banyak karya sastera Bali tradisional dan sastera Bali modéren dalam 20 tahun terakhir. Sejak 1993 dia menciptakan sembilan karya jenis kakawin yaitu puisi Bali tradisional berbasis tembang menggunakan bahasa Jawa Kuno, al. Kakawin Udayana Mahawidya (Kakawin Universitas Udayana sebagai Sumber Pengetahuan, 1993), Kakawin Bali Sabho Lango (Kakawin Pésta Kesenian Bali, 1997) dan Kakawin Candra Berawa (2015). Adiputra juga menciptakan puisi tradisional Bali yang disebut sekar alit yang menggunakan bahasa Bali sehari-hari, judulnya Gaguritan  PKB (Pésta Kesenian Bali).
           Yang menulis gaguritan, banyak, tapi yang menulis kakawin sangat langka. Adiputra berhasil menulis kakawin antara lain karena sejak  menjadi murid SD menekuni dunia kakawin dan aktif melantunkan wirama (tembang Jawa Kuno) dalam kehidupan sehari-hari di masarakat di sela-sela kagiatan profesionalnya sebagai dosén dan prakték dokter.
           Karya-karya Prof. Adiputra mendapat sambutan positif dari masyarakat dan  dari dunia universitas. Sudah ada 4 orang mahasiswa yang menjadikan karya Prof. Adiputra sebagai bahan skripsi di Jurusan Jawa Kuno Universitas Udayana. Hal itu menunjukkan bahwa selain memperkaya khazanah sastera Bali, juga berguna dalam dunia pendidikan sastera Bali.
           Selain menciptakan karya sastera tradisional, Adiputra juga menciptakan puisi Bali modéren. Dia menulis puisi Bali modéren sejak tahun 1980, tapi baru tahun 2004 karyanya dikumpulkan dan diterbitkan, antaranya Boréh Cuka (2004), Pénjor (2005), Prelaya (Kehancuran, 2005), Wong Bali (2006), Basa Bali (2007).
           Kepada I Gedé Putra Ariawan akan dihaturkan Hadiah Sastera Rancagé tahun 2015 berupa piagam dan uang Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera â€Rancagéâ€Â 2015 untuk sastera Batak
Ada lima judul buku sastera Batak terbitan  2012 – 2014 yang harus dipertimbangkan mana yang patut mendapat Hadiah Sastera “Rancagé†yang pertama kalinya, walaupun kelima buku itu karya seorang pengarang, ialah Saut Poltak Tambunan (SPT) yang punya pengalaman sebagai pengarang dalam bahasa Indonésia lebih dari 40 tahun sebelum menulis dalam bahasa bunya. Menurut tahun terbitnya, kelima buku itu ialah 1. Mangongkal Holi (Menggali Tulang, kumpulan cerita péndék, Maret 2012), 2. Mandera Na Metmet (Bendéra Kecil, roman dua bahasa,  April 2013), 3. Si Tumoing Manggorga Ari Si Sogot (Si Tumoing Mengukir Hari Ésok, Méi 2013), 4. Masih, Meski Bukan Yang Dulu, kumpulan sajak yang memuat juga sajak dalam bahasa Batak,  Agustus 2013), dan Si Tumoing: Pasiding Holang Padimpos Holong (Si Tumoing :  Perpéndék Jarak,  Teguhkan Kasih, Mei 2014).
           Urut-urutan terbit kelima buku itu penting, karena kita akan melihat kian
meningkatnya kemampuan pengarang dalam menggunakan bahasa Bataknya. Dalam buku yang awal, bahasa Bataknya merupakan terjemahan dari bahasa Indonésia. Kemudian banyak kata  bahasa Indonésia yang terselip di dalam kalimat. Banyak kata-kata bahasa Batak yang salah tempat atau keliru arti dan keliru tulis.
Dalam buku  keempat, Masih, Meski Bukan yang Dulu, yang memuat sajak dalam dua bahasa, Indonésia dan Batak, sajak Indonésia jauh lebih banyak (85 buah) daripada sajak dalam bahasa Batak (hanya 8 buah). Untung sajak-sajak bahasa Batak jauh lebih baik. Pilihan kata-katanya wiwasa (spontan), sedikit pun tidak terasa ada pemaksaan, dan métaforanya sarat makna. Iramanya terjaga sehingga mustahil rasanya menggésér urutan kata apalagi mengurangi atau menambahnya. Hal itu jelas terasa bila kita bandingkan beberapa larik pertama saja antara sajak berbahasa Batak Toba “Bungkas Ma Ho†dengan padanannya dalam bahasa Indonésia, “Jangan Usik Kami di Tanah Sendiriâ€. Untuk perbandingan ini pembaca tidak perlu tahu bahasa Batak. Baca saja dan perbédaan mutunya akan langsung terasa:
Bungkas Ma Ho        Jangan Usik Kami di Tanah Sendiri
Â
Jamot marudungo-dungo                               Kami lelah di sini berjaga
Ngotngot patulangit tonggo-tonggo               berdarah-darah di tepi luka kian menganga
Pangiar anggukhangguk tu désa na ualu     jerit perempuan langitkan andung
Ai nunga barsibalik uhum sega gadugadu   wajah bumi kami berubah
Seperti yang diakui oléh SPT sendiri dalam bukunya yang pertama , baru
setelah hidup sebagai pengarang (dalam bahasa Indonésia) lebih dari 40 tahun ia mempunyai keinginan menulis dalam bahasa ibunya, bahasa Batak Toba. Sedangkan generasi muda Batak semakin kurang berminat berbahasa ibunya. Dia tahu bahwa ada pengarang dari daérah lain yang menulis dalam bahasa ibunya. Mengapa dia tidak? Maka dia bermaksud akan menterjemahkan cerita-cerita yang ditulisnya dalam bahasa Indonésia ke dalam bahasa ibunya.  Ternyata menterjemahkan cerita dari bahasa Indonésia ke dalam bahasa Batak itu tidak mudah,  sehingga ia pun langsung menulis dalam bahasa Batak. Meskipun pada awalnya susah, sehingga banyak kata-kata Indonésia yang digunakannya. Tapi dia berusaha agar lebih  menguasai bahasa ibunya, dengan antara lain mempergunakan ungkapan-ungkapan tradisional yang merupakan kearifan lokal daérahnya.
           Kelima buku sastera berbahasa Batak karya Saut Poltak Tambunan  patutlah dinilai menarik dan penting. Menarik, karena ditulis dengan rancangan jalan cerita (plot) berdaya tegang cukup tinggi; gaya penulisannya cukup jernih dengan kalimat sederhana dan péndék-péndék. Penting, pertama karena kelima buku ini berhasil menghadirkan sejumlah besar kosakata yang mungkin belum pernah didengar apalagi dipakai oléh rata-rata penutur bahasa Batak Toba. Kedua, kelima buku secara keseluruhan berisi pokok-pokok persoalan yang mengancam, daya hidup masyarakat penutur bahasa tersebut déwasa ini, dan yang penyelesaiannya sangat sulit.
           Pokok-pokok persoalan itu boléhlah dirumuskan sbb: (1) Sejumlah tradisi; seperti menggali rangka tulang orangtua nénék moyang mungkin pengorbanan sia-sia; (2) Brain-drain habis-habisan dari désa-désa; (3) Kurangnya perhatian masyaralat désa terhadap orang-orang lemah, seperti yang miskin dan cacat; (4) Besarnya pamrih perantau suksés dalam urusan kampung halaman; (5) Hancurnya éko-sistim pedésaan mengikis kepekaan masyarakat terhadap kehidupan; (6) Dalam hal ambisi orangtua ternyata jauh lebih ganas daripada anak-anak meréka; (7) Kekuasaan, terlebih dalam perang, sekalipun kecil-kecilan, bisa membuat pengorbanan paling murni jadi sia-sia, utamanya pengorbanan ibu dan anak; (8) Kehidupan masyarakat désa yang tabah dan mandiri sirna hanya dalam satu generasi; (9) Betapa kelirunya pilih bulu yang meminggirkan anak perempuan dan mengedepankan anak lelaki; dan (10) Kejamnya patriarki.
    Sepuluh pokok persoalan itu tergarap cukup baik dalam 10 cerpén yang dimuat dalam buku ke-1 Mangongkal Holi. Itu kalau dibaca oléh bahasa Batak Tiba-nya pas-pasan, tapi akan sangat terasa mengganggu bagi pembaca yang kosa-kata basa Batak Tobanya di atas rata-rata.
Demikianlah 10 cerpén itu dapat dianggap mewakili ragam pokok persoalan tersebut. Pokok persoalan ke-7 misalnya digarap lebih rinci dalam buku ke-2 (Mandera na Mémét, roman péndék tentang Perang Kemerdékaan yang diceritakan oléh seorang kakék kepada cucu-cucunya.
Yang merupakan karya sastera yang utama dari kelima karya SPT adalah karya
ke-3  dan karya ke-5, yang merupakan roman yang bersambung, walaupun pada bagian
akhir  terjadi pergantian tokoh utama, namun témanya sama.
              Yang sangat menonjol pada akhir roman itu adalah betapa hébatnya
 cengkeraman kekuatan tua yang sudah lama mengendap, yaitu adat dan tradisi.
Tokoh utama pun, Tumoing sampai tergusur dari kedudukannya sebagai tokoh utama,
digantikan oléh seorang yang jauh lebih tua. Marolop alias Ama ni Mollling, pamannya,
yang lebih penting bagi adat dan tradisi. Hasrat Tumoing untuk mengukir hari ésok
hanya sampai pada peran tak sadar mengungkap rahasia besar pamannya yang sudah
lama terpendam. Imbalannya cuma jadi pegawai di perkebunan sawit milik sepupunya
Bayu Langit bersama dengan gadis bekas pegawai pramuniaga toko kecantikan yang
lantas jadi isterinya.
Namun jangan kira Marolop pendukung kekuatan lama yang bernama adat dan
tradisi. Sebaliknya terhadap adat dan tradisi itu dia malah pemberontak yang sangat radikal.  Dia satu-satunya anak lelaki dalam keluarganya sehingga dirinya berlipat-lipat lebih bernilai di hadapan adat  dan tradisi . Semula dia calon lulusan perguruan tinggi paling bergéngsi, yang membuat dirinya yang sudah berlipat-lipat lebih bernilai itu bisa lebih berlipat-lipat lagi. Mendadak semua itu dibuangnya demi mengenang perempuan kekasihnya yang ternyata mau juga kawin dengan pria pilihan ayahnya. Marolop memilih hidup sendiri di pinggir hutan bersama seékor anjing.
Empat puluh tahun lamanya Marolop hidup seperti itu, pasrah terhadap segala, sama sekali tanpa cita-cita. Mendadak rahasianya terungkap. Ternyata kekasihnya melahirkan anaknya. Yah, anak itu anak Marolop, bukan anak suami kekasihnya. Mendadak nilai diri Marolop menjulang kembali di hadapan adat dan tradisi sebagaimana tampak pada ratapan haru adik perempuannya, ibu Tumoing. Kendati semula gagap menghadapi peristiwa itu, Marolop akhirnya menerima dirinya yang tiba-tiba menjulang nilainya itu. Dia terima Bayu Langit, anaknya. Dia terima ibu Bayu Langit, Nurita yang suaminya sudah meninggal, sebagai isterinya. Dia terima anak-anak tirinya.
Tidak hanya itu. Penerimaan tersebut dilakukan dengan upacara adat sepenuhnya,  tentu tidak hanya oléh Marolop tapi juga oléh kekasihnya dan semua anak-cucu kekasihnya. Malah kekasihnya itu paling bersemangat dengan réla menanggung segala biaya. Hanya saja masyarakat asal Marolop sekalian saja mencengkeram adat dan tradisi kekasihnya, Nurita. Yah sungguh hébat cengkeraman kekuatan adat dan tradisi yang sudah lama mengendap itu!
Maka Hadiah Rancagé buat sastera Batak Toba tahun 2015 untuk karya adalah
Si Tumoing : Manggorga Ari Sogot dan
Si Tumoing : Pasiding Holang Padimpos Holong
                                   Karya Saut Poltak Tambunan
                                   Terbitan7 Selasar Pena Talenta, Jakarta.
Kepada  Saut Poltak Tambunan akan dihaturkan Hadiah Sastera \Rancagé tahun 2015 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan Hadiah Sastera Rancagé tahun 2015 untuk jasa dalam sastera Batak akan dihaturkan kepada
Leonardus Egidius Joosten
           Usia 72 tahun, lahir di Nuenen, Gerwen en Nederwetten
                       Menjadi WNI tahun 1994
           Sejak usia 29 tahun dia bekerja sebagai imam Katolik di berbagai daérah di Sumatera Utara, seperti Tapanuli Utara dan Karo, sambil bekerja untuk memelihara dan memajukan kebudayaan setempat pada umumnya dan sastera daérah Batak Toba pada khususnya.  Karya-karyanya yang sudah terbit dalam bidang tersebut a.l. Samosir : The Old Batak Society (1992), Samosir Selayang Pandang (1993), De Oud Batakse Samenleving (1996), Samosir: Silsilah Batak (1996), Kamus Batak Toba-Indonésia (2001), terjemahan Toba-Bataks—Nederlands Woordenbook karya Johannes Warneck yang aslinya Toba Batak – Deutches Wörterbuch (1996—1997). Selain itu dia mendirikan sejumlah musium kebudayaan local seperti di Brastagi (Karo) dan Pangururan (Samosir).
Kepada Leonardus Egidius Joosten  akan dihaturkan Hadiah Sastera \Rancagé tahun 2015 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
                               *
Hadiah “Samsoedi†2015 untuk Bacaan Anak-anak berbahasa Sunda
Ada dua buku bacaan kanak-kanak yang tetbit tahun 2014, yaitu Nyi Sarikingkin oléh T.B. Djajadilaga yang merupakan cétak ulang dan Kasambet oléh Ahmad Bakri yang merupakan kumpulan cerita  tentang kehidupan anak-anak.
           Kasambet menceritakan kehidupan Jang Udin, anak jurutulis désa dengan kawan-kawannya. Secara tidak langsuing pengarang memberikan pelajaran dan bimbingan  bagaimana hidup dalam masarakat yang baik. Bagaimana caranya agar rukun dengan kawan-kawan sepermainan, hormat kepada orang tua atau orang yang lebih tua, dan mengasihi orang yang hidup berkekurangan atau yang lebih muda. Meskipun maksudnya mendidik, namun cerita-cerita dalam Kasambet mengandung nilai sastera. Jalan ceruitanya membangunkan imaji pembaca karena watak setiap tokoh didukung oléh dialog yang hidup, yang merupakan salah satu kekuatan pengarang Ahmad Bakri.
           Dengan demikian yang ditetapkan sebagai pemenang Hadiah â€Samsoedi†tahun 2015 adalah
Kasambet
                                   Karya Ahmad Bakri
                                   (terbitan Kiblat Buku Utama)
           Kepada ahli waris Ahmad Bakri akan dihaturkan Hadiah “Samsoedi†tahun 2015 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
                             *
 Pabélan, 31 Januari, 2015
Yayasan Kebudayaan Rancagé
Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina
 [1] Setelah selesai menulis Keputusan ini, saya membalik-balik brosur Hadiah “Rancagéâ€Â tahun 2012 dan membaca bahwa saya berjanji kalau ada buku dalam kedua basasa itu terbit  pada tahun 2013 maka Hadiah “Rancagéâ€Â akan dibeirkan kepada pengarang yang menulis dan menerbitkan buku dalam kedua bahasa itu. Kami di Yayasan Rancage telah lalai terhadap janji itu sehingga pada tahun lalu (2014), kami tidak memenuhi janji tersebut. Tahun ini kami memberikan Hadiah Rancagé buat sastera Batak, insya Allah tahun depan kami akan memberikan Hadiah “Rancag醠buat sastera Banjar kalau dalam tahun 2015 ini ada buku baru terbit dalam bahasa tersebut.