Oleh : Nenden Nurhayati Issartel (Koresponden, Perancis)
Tri Indri Hardini (Dosen, Universitas Pendidikan Indonesia)
Mary Wollstonecraft :
Je ne souhaite pas que les femmes aient du pouvoir sur les hommes, mais sur elles-mêmes.
Saya tidak mengharapkan perempuan berkuasa atas laki-laki, tapi mereka mampu menguasai diri mereka sendiri.
Olimpiade Musim Panas 2024 yang baru saja diresmikan tadi malam secara resmi disebut Olimpiade XXXIII (les Jeux de la XXXIIIe olympiade) dan diselenggarakan di kota Paris yang menjadi menjadi stadion raksasa karena banyak pertandingan-pertandingan dilaksanakan di dalam kota.
Banyak hal yang baru terjadi di Olimpiade ini. Salah satunya adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah atlet laki-laki sama banyaknya dengan atlet perempuan di antara 10.500 atlet. Pada upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024, tema Sororité (feminisme) ditayangkan beriringan dengan la Marseillaise, lagu kebangsaan Perancis yang dinyanyikan oleh mezzo soprano Axelle Saint-Cirel. Pada saat yang bersamaan 10 patung perempuan yang menandai sejarah Perancis dimunculkan satu-satu sebagai tanda peresmian patung-patung ini : Alice Milliat, Gisèle Halimi, Simone de Beauvoir, Olympe de Gouges, Paulette Nardal, Jeanne Barret, Louise Michel, Christine de Pizan, Alice Guy dan Simone Veil.
Patung-patung perempuan luar biasa Perancis ini tidak akan hilang setelah penutupan Olimpiade tetapi patung-patung ini dipersembahkan ke kota Paris, untuk melengkapi 260 patung pria terkenal dan 40 patung perempuan yang sudah ada di Paris.
Untuk mengetahui perkembangan tentang emansipasi kaum perempuan dalam seluruh penyelenggaraan Olimpiade (1896-2024) mari kita simak tulisan ini.
Partisipasi resmi pertama perempuan dalam Olimpiade dimulai pada tahun 1912. Mereka mewakili 2% atlet dan hanya dapat berpartisipasi dalam dua jenis olahraga. Baru pada tahun 2007 di abad ke-21 lahir perjanjian Olimpiade yang mewajibkan kehadiran perempuan di semua cabang olahraga”. Kesetaraan antara atlet perempuan dan pria dicapai pada tahun 2020. Namun integrasi perempuan ke dalam institusi gerakan Olimpiade masih terlihat malu-malu.
Perlu diketahui bahwa Olimpiade modern pertama di Athena pada tahun 1896, dibuka tanpa partisipasi kaum perempuan karena Baron Pierre de Coubertin, pendiri Olimpiade modern, menentang partisipasi perempuan. Pada tahun 1912, ia menyatakan bahwa Olimpiade merupakan “Keagungan seorang atletik lelaki ini adalah tepuk tangan perempuan sebagai hadiahnya”. Perlu disadari bahwa pada saat itu mayoritas orang berbeda pendapat dengan zaman sekarang tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Peran perempuan waktu itu, mereka hanyalah sebagai pendamping laki-laki, calon ibu keluarga, dan dibesarkan untuk peran ibu rumah tangga.
Pertentangan dan pendapat yang salah juga dikaitkan dengan olahraga yang dilakukan perempuan, seperti postur tubuh yang kelihatan kehilangan keanggunannya karena terlalu berotot, bahkan ada anggapan bahwa atlet perempuan bisa menyebabkan mandul. Namun pada tahun 1900, empat tahun setelah Olimpiade pertama, meskipun Pierre de Coubertin enggan, perempuan mulai dihadirkan dalam kompetisi golf dan tenis sebagai bagian dari Pameran Universal Paris (yang bersamaan dengan Olimpiade saat itu).
Sehubungan dengan keraguan Komite Olimpiade Internasional (CIO : le Comité international olympique) untuk membuka Olimpiade dengan memasukkan atlet perempuan, kaum perempuan akhirnya menyelenggarakan pertemuan olahraga internasional mereka sendiri. Gerakan olahraga perempuan terbentuk berkat Alice Milliat, juara dayung setelah Perang Dunia Pertama. Pada bulan Desember 1917, Federasi Masyarakat Olahraga Perempuan Perancis (la Fédération des sociétés féminines sportives de France) dibentuk dan Alice Milliat menjadi presidennya.
Menghadapi penolakan Baron de Coubertin untuk memasukkan pertandingan atletik perempuan ke dalam Olimpiade Antwerpen pada tahun 1920, pada tahun 1921, Alice menyelenggarakan pertandingan atletik dunia perempuan pertama di Monte Carlo. Pada tahun yang sama, ia menyelenggarakan Kejuaraan Olimpiade Perempuan (Championnats olympiques féminins) di Paris, bertempat di stadion Pershing yang terletak di Bois de Vincennes. Acara ini sukses, namun Alice Milliat harus menghapus penggunaan istilah “Olimpiade”.
Pada tahun 1926, penyelenggaraan “Pertandingan Perempuan Tingkat Dunia” yang dipimpin oleh Pangeran Gustavus Adolphe dari Swedia memperoleh sukses besar. IOC akhirnya tunduk dan memperkenalkan lima cabang atletik perempuan di Olimpiade Amsterdam pada tahun 1928. Partisipasi perempuan menjadi permanen di Olimpiade Praha pada tahun 1930, London pada tahun 1934, Los Angeles pada tahun 1932, kemudian Berlin pada tahun 1936, Alice Milliat mengumumkan pembubaran FSFI. Pertarungan memasukkan kaum perempuan di Olimpiade Games telah dimenangkan.
Demi mendorong kesetaraan gender memasukkan kesetaraan dalam agenda Olimpiade 2020, CIO bekerja sama dengan federasi internasional agar 50% partisipasi perempuan tercapai di Olimpiade dan berusaha untuk meningkatkan partisipasi dan kehadiran perempuan dalam olahraga dengan menciptakan lebih banyak peluang untuk berpartisipasi dalam Olimpiade dan juga menyemangati pertandingan campuran.
Sejak tahun 1991, semua cabang olahraga yang ingin dimasukkan dalam program Olimpiade harus menyertakan partisipasi perempuan ke cabang tersebut. Pada tahun 2012, selama Olimpiade London, pertandingan tinju perempuan diselenggarakan. Jadi sejak tahun 2007, dalam perjanjian Olimpiade kehadiran perempuan diwajibkan di semua cabang olahraga dan komitmen yang diperkuat pada tahun 2015 dengan partisipasi perempuan di semua disiplin olahraga.
Dalam rangka mengatasi kesenjangan media pemberitaan antara laki-laki dan perempuan, saat jutaan pemirsa tertuju pada Olimpiade dan Paralimpiade di Pyeongchang, pada tanggal 13 Februari 2018, bertepatan dengan Hari Radio Sedunia (WDR/ la Journée mondiale de la radio – JMR) yang dirayakan UNESCO, tema yang diangkat adalah tentang olahraga. Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, mengimbau media agar memberikan pemberitaan yang lebih seimbang terhadap atlet kaum perempuan. “Saat ini, Hanya sekitar 4% liputan olahraga didedikasikan untuk olahraga yang dimainkan oleh perempuan, dan hanya 12% berita olahraga yang disajikan oleh wartawan perempuan”.
Di bulan April 2018, CIO mendorong dan diwajibkan menerapkan prinsip dan pedoman yang seimbang dalam kesetaraan jenis kelamin dalam semua jenis media massa.
Meskipun Olimpiade emansipasi dan kesetaraan perempuan dalam olahraga berkembang di sepanjang abad ke-20, Pada awal abad ke-21 ada masalah lain karena negara-negara tertentu menolak mengajak perempuan untuk berpartisipasi, atau walaupun setuju, mereka mendikte busana olahraga yang dipakai perempuan. Masalahnya pada perjanjian Olimpiade terdapat larangan berpakaian yang menunjukkan keagamaan apa pun. Suatu polemik karena para pemimpin CIO benar-benar bertekad mendorong partisipasi perempuan dari semua negara.
Presiden ke 8 CIO, Jacques Rogge bereaksi atas polemik hijab yang dikenakan oleh judoka Saudi. Ia menyatakan bahwa partisipasi perempuan Saudi ini dapat dilihat sebagai tanda perkembangan yang menggembirakan. Dengan bergabungnya para atlet Saudi ini dan juga saudara perempuan mereka dari Qatar dan Brunei di London, semua komite Olimpiade nasional akan mengirim perempuan ke Olimpiade. Pakaian judoka ini menjadi polemik karena dikecam oleh gerakan feminis Barat, khususnya Liga Hukum Perempuan Internasional (LDIF/la Ligue du droit international des femmes).
Kasus cara berpakaian di Olimpiade ini terjadi juga di olahraga voli pantai perempuan. Olahraga ini menampilkan gambaran yang sangat seksi karena para pemainnya harus mengenakan bikini yang sangat menonjolkan tubuhnya. Federasi Bola Voli Internasional (la Fédération internationale de volleyball) mewajibkan para pemainnya mengenakan bikini. Lebar maksimum celana pendek dibatasi hingga 7 cm. Untuk mendorong dan memungkinkan negara-negara baru (islam) bergabung dalam Olimpiade, dengan tetap mematuhi aturan budaya dan agama mereka, Federasi Voli Pantai Perempuan (Fédération de beach-volley féminin) mengizinkan para pemainnya untuk mengenakan celana pendek (short) dan t’shirt.
CIO sekarang membiarkan federasi olahraga lain mengambil keputusan yang sama. Beberapa federasi olahraga telah memutuskan untuk mengizinkan perempuan berjilbab, seperti federasi internasional bola basket, sepak bola, judo, karate, dll. Peraturan baru ini menunjukkan evolusi simbol keagamaan dalam olahraga. Hal ini tidak terbatas pada pemakaian cadar bagi perempuan muslim saja, tapi juga kippah bagi orang Yahudi atau sorban bagi orang Sikh. Namun keselamatan tetap menjadi prioritas utama karena atlet perempuan ini tidak boleh menyembunyikan bagian wajah mana pun dan memakai aksesori perhiasan penutup di sekitar wajah dan leher.
Di saat perayaan Olimpiade dan Paralimpiade di Paris yang ke-33 ini, pemangku kepentingan tentunya akan menonjolkan komunikasi pada nilai-nilai yang dipilih sebagai standar luhur Olimpiade ini. Salah satunya adalah standar luhur nilai Olimpiade ini adalah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan hal ini menempati tempat khusus karena Olimpiade ini akan menjadi yang pertama dalam sejarah Olimpiade yang setara (jumlah laki-laki sama banyaknya dengan perempuan di antara para atlet yang berkompetisi tetapi juga di antara pembawa obor api Olimpiade, dan – hampir – di antara pegawai panitia penyelenggara dengan 52% perempuan).
Dengan perspektif ini, Olimpiade kali ini juga menawarkan lebih banyak hal yang mencampurkan laki-laki dan perempuan : logo bergambar Marianne (lambang perempuan Republik Perancis) dan juga maskot berbentuk topi Frigia (bonnet phrygien) yang tak luput disamakan oleh pengguna internet sebagai simbol perempuan.
Di samping itu permainan-permainan olahraga ini mengajukan permohonan untuk diberi label negara yang baru sebagai tanah kesetaraan (diluncurkan pada tahun 2022) dengan tujuan untuk mempromosikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan memerangi diskriminasi serta kekerasan seks dan seksual di dunia olahraga.
Pertanyaannya, keberhasilan kebijakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam gerakan Olimpiade dan/atau mewakili situasi perempuan dalam gerakan olahraga Perancis ini apakah menggambarkan keberhasilan kesetaraan antara perempuan dan lelaki yang sebenarnya dalam kehidupan?
Dengan mengetahui hambatan yang ada, yaitu di satu sisi dalam hal integrasi perempuan dalam acara-acara besar ini dan sisi lain adalah lambatnya peningkatan teknologi digital kala menyangkut pertandingan-pertandingan olahraga perempuan di Olimpiade. Tantangan Kesetaraan atlet di Olimpiade 2024 tidak diragukan lagi merupakan unsur kunci komunikasi kesamaan (égalitaire) dari otoritas Olimpiade di semua bidang olahraga Olimpiade.
Saat ini, di abad modern, perjuangan pertama bagi olahragawan perempuan adalah berprestasi untuk memperoleh akses pada federasi olahraga nasional (hak untuk memperoleh izin olahraga (une licence sportive), dan kemudian mereka bisa masuk ke kompetisi internasional seperti Olimpiade (hak untuk tampil/performer). Padahal hal itu beberapa tahun ke belakang sangat sulit untuk seorang perempuan bertanding, misalnya, tidak ada perempuan yang dapat bergabung dengan federasi balap sepeda Perancis hingga tahun 1948 dan tidak ada pertandingan balap sepeda perempuan di Olimpiade sebelumnya.
Contoh lain yaitu pada tahun 1984. Tidak ada perempuan yang terdaftar di Federasi Sepak Bola Perancis hingga tahun 1970 dan tidak ada pemain sepak bola perempuan di Olimpiade sebelum tahun 1996.
Di Perancis, misalnya, perempuan mewakili 39% yang memiliki izin olahraga pada tahun 2020 (angka tertinggi sebelum pandemi Covid-19), tetapi mereka hanya berjumlah 32,8% di federasi Olimpiade Perancis (dan mayoritas hanya di empat federasi Olimpiade dari 39 federasi Olimpiade yaitu federasi tari, senam, roller dan skateboard, serta federasi berkuda). Tentu saja, perkembangan izin olahraga sebagian besar disebabkan partisipasi perempuan dan lebih terutama anak gadis – dengan +8,1% dari izin olahraga dibandingkan dengan +2,5% dari izin olahraga antara tahun 2012 dan 2017 – Namun walau demikian, hal ini merupakan perpecahan kedua gender yang penting dalam keanggotaan olahraga di Perancis.
Dilihat dari jumlah, sampai dekade terakhir abad ke-20, kemajuan perempuan di kalangan atlet berjalan lambat dan tidak teratur hingga ketika kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam olahraga sah secara hukum, dan terpancar dalam Deklarasi Brighton pada tahun 1994 (di bawah naungan kelompok kerja internasional tentang perempuan dan olahraga) dan di acara konferensi dunia PBB tentang perempuan di Beijing pada tahun 1995, bahkan di berbagai komisi dan proyek di dalam Komite Olimpiade Internasional. Pada akhirnya kemajuan perempuan terjadi pada tahun 2012 (Olimpiade Musim Panas) dan Olimpiade Musim Dingin 2014) yang semua cabang olahraga Olimpiade (tetapi belum tentu semua cabang olahraga) diperbolehkan untuk perempuan dan laki-laki.
Dari kemajuan partisipasi olahragawan perempuan ini, dapat dikatakan bahwa sampai saat ini, rasio perempuan/laki-laki masih sangat bervariasi dan tergantung pada delegasi Olimpiade dan disiplin olahraga (misalnya, di Tokyo pada tahun 2021, hanya enam federasi internasional – kano, judo, dayung, berlayar, menembak, dan angkat besi – kuota atlet yang seimbang antara perempuan dan laki-laki telah terpenuhi).
Ketidaksetaraan atlet di Olimpiade dan Paralimpiade Paris ini merupakan salah satu pendorong utama promosi internasional olahraga perempuan, walaupun tampaknya tidak sejalan dengan situasi olahragawan perempuan di negara-negara tertentu, seiring dengan sistem budaya masyarakat di sebagian besar negara-negara di dunia.
Kalau diamati, tidak setaranya partisipasi perempuan dan lelaki ini tidak lagi dapat dikaitkan dengan kebijakan ‘pilih kasih’ (akses yang tidak setara) – sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Ketidaksetaraan perlakuan yang terus-menerus ini terlihat dari lebih sedikit sumber daya material, keuangan dan manusia) dan pengakuan tentang prestasi perempuan(kurangnya pemberian nilai dan penghargaan martabat atlet) yang sebagian besar masih tidak menguntungkan bagi keterlibatan perempuan dan anak perempuan dalam olahraga. Tetapi hal ini sedikit demi sedikit, walau lambat, akan membaik juga, misalnya tim sepak bola putra Denmark memutuskan untuk menolak menaikan bonus mereka demi mendukung finansial tim sepak bola putri. Inisiatif luar biasa ini menunjukkan solidaritas yang tinggi dari pemain sepak bola pria terhadap pemain sepak bola perempuan telah memungkinkan memberi kondisi keuangan yang lebih baik kepada para pemain sepakbola perempuan ini. Selain itu, perjanjian baru yang ditandatangani memberikan bonus pertandingan yang sama untuk tim putra dan putri, serta perlindungan asuransi yang lebih baik bagi tim putri. Federasi sepak bola Denmark dan serikat pekerja juga telah sepakat untuk menegosiasikan perjanjian baru untuk memperbaiki nasib tim putri setelah musim panas ini.
Saat ini, pembatasan perempuan ini terlihat dengan tidak adanya kumpulan perempuan di klub olahraga. Serangkaian kegiatan, jadwal, peralatan, anggaran atau pengawasan terbatas. Ketimpangan perlakuan ini berjalan seiring dengan sistem representasi budaya yang tidak hanya mempertahankan perbedaan antara kategori perempuan dan laki-laki yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari (tentang “seharusnya” perempuan itu ”begini” atau laki-laki itu harus ”begitu” yang menunjukkan satu jenis kelamin punya hirarki terhadap jenis kelamin lainnya).
Jadi, sejak usia sangat muda, di bawah pengaruh budaya yang melekat pada masyarakat di beberapa tempat di belahan dunia, termasuk pada media massa, anak perempuan lebih didorong untuk menjadi pembaca, pemain musik, atau kegiatan yang tidak bergerak, sebagaimana seorang atlet – atau didorong untuk menjadi penari, pesenam, atlet tetapi bukan pemain sepak bola, rugby atau petinju. Asumsi masyarakat yang melekat yang sekarang sedang dicoba diubah adalah asumsi bahwa kaum perempuan itu lemah dan kurang berharga dibanding kaum laki-laki.
Bagi seorang atlet perempuan, berpartisipasi bukanlah mempertahankan bentuk tubuh, tetapi siap berkelahi, berjuang, melampaui diri mereka sendiri dan berprestasi. Anak perempuan sering beranggapan dengan berpikir bahwa penampilan diri mereka yang jelek sehingga membenarkan asumsi bahwa mereka kurang berharga dan oleh karena itu berhak menerima pendapatan yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Oleh karena itu, selain kesetaraan/ keseimbangan jumlah atlet, kriteria kesetaraan lainnya harus dibahas dan dinilai seperti penggunaan ruang olahraga, kualitas komentar media, dan banyak lagi, untuk hak atas pengakuan atas martabat semua manusia tanpa terkecuali. Dengan demikian, bukan karena seseorang itu seorang lelaki maka lebih unggul dari perempuan..
Lebih jauh lagi, dalam hal kesetaraan, situasi perempuan di luar bidang kompetisi juga dipertanyakan, khususnya dalam fungsi manajemen (politik dan/atau teknis) olahraga. Meskipun sedikit dibicarakan tentang ini, isu ini telah membuat ahli-ahli hukum Perancis bertindak, seperti pengurusan gerakan Olimpiade, selama sekitar dua puluh tahun.
Dalam hal akses yang setara terhadap fungsi-fungsi pilihan dalam olahraga, Perancis berada di garis depan dengan karena dalam kurun waktu delapan tahun, dua undang-undang yang ambisius dikeluarkan: undang-undang tanggal 4 Agustus 2014, kemudian undang-undang tanggal 2 Maret 2022 yang menetapkan persyaratan kesetaraan dalam jumlah Dewan direksi federasi olahraga (les conseils d’administration des fédérations sportives) untuk tahun 2024 dan dewan direksi liga olahraga regional (les conseils d’administration des ligues sportives régionales )untuk diterapkan pada tahun 2028. Dalam beberapa Olimpiade, kebijakan-kebijakan ini telah meningkatkan keterwakilan perempuan di badan pengatur olahraga Perancis (meningkat dari 27,4% pada tahun 2009-2012 menjadi 40,3% pada tahun 2021-2024).
Menurut Cécile Ottogalli-Mazzacavallo, hasil perhitungan numerik ini hanyalah pohon yang menyembunyikan hutan kesenjangan karena jika menyangkut kebijakan olahraga. Namun laporan tersebut tidak tepat. Di Perancis, hanya dua orang perempuan (5,7%) yang pada tahun 2023 menjadi presiden federasi Olimpiade dan bagi perempuan lainnya, kurang jelas mengenai fungsi yang mereka kerjakan di CA (Comité Administrative); Mereka banyaknya menghadapi perlawanan atau dan strategi pengelakan yang membatasi pembagian kekuasaan yang efektif, karena yang membuat perbedaan bukanlah jumlah angka, melainkan kekuatan (power) angka.
Di sisi lain, dalam dunia pelatihan olahraga dan/atau wasit juga menunjukkan adanya kesenjangan yang mencolok antara perempuan dan laki-laki. Di Perancis, persentase pelatih perempuan tingkat tinggi terus meningkat antara 8% pada tahun 2006 dan 11% pada tahun 2020. Di sektor profesional ini, keberagaman (dan bahkan lebih sedikit kesetaraan) tidak masuk dalam agenda, dan terlebih lagi karena situasi tersebut. Kemampuan perempuan masih kurang dipahami dengan baik.
Dilihat dari sejarah emansipasi kaum perempuan, bukan karena ingin meremehkan hasil kerja besar politikus dan pemimpin-pemimpin lainnya tentang keputusan bersejarah yang telah membawa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Orang hanya berharap bahwa kesetaraan di Olimpiade Paris 2024 tidak akan menjadi “langkah terakhir menuju kesetaraan bersejarah di Olimpiade”. Hal ini merupakan langkah besar menuju kebijakan dan praktik-praktik yang memungkinkan masuknya kelompok minoritas dalam hal tatanan jenis kelamin berdasarkan hasil kerja mereka dan praktik kebijakan di tempat kerja yang menjadi landasan nilai-nilai dan ideologis para pemimpin olahraga di Perancis dan di belahan dunia lain.
Kaum perempuan tidak lagi dianggap enteng dan tak mampu melakukan hal-hal yang bisa dan biasanya dilakukan oleh kaum perempuan tetapi perempuan juga ketika menduduki bangku kepemimpinan dinilai dari kemampuan mereka bukan karena rasa kasihan.
Sumber:
le site Fetedelascience.fr.
theconversation.com/fr